Ringkasan Buku “The Psychology of Money” oleh Morgan Housel
Peran Keberuntungan Dalam Berinvestasi
•Pembahasan
Bagaimana cara pasar saham bekerja? Kapan waktu yang tepat untuk membeli atau menjual aset tertentu? Berapa uang yang harus kamu tabung setiap tahunnya agar dapat pensiun dengan tenang? Itu semua pertanyaan yang sering kali memenuhi ruang-ruang diskusi keuangan pribadi. Namun ada satu hal yang sering dilupakan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yakni faktor manusia. Walaupun kita berkata bahwa kita menggunakan logika dalam membuat setiap keputusan, nyatanya keputusan yang kita buat sering kali diselimuti oleh kecemburuan, kerakusan dan juga optimisme. Menurut penulis, ini adalah kunci untuk memahami bagaimana keputusan finansial dibuat.
Setiap Orang Punya Pengalamannya Sendiri Terhadap Uang dan Ekonomi
Ketika John F. Kennedy mencalonkan diri sebagai presiden di tahun 1960, dia sempat mendapatkan pertanyaan mengenai apa yang beliau alami saat Great Depression terjadi (krisis ekonomi di tahun 1929 yang diakibatkan oleh hancurnya pasar saham). Ternyata jawaban beliau mengejutkan banyak pendengar. Beliau mengaku bahwa keluarga mereka mempunyai kekayaan yang cukup banyak di waktu itu. Sepuluh tahun setelah krisis berlalu, kekayaan mereka justru bertambah. Di tahun 1939, keluarganya memiliki lebih banyak Asisten Rumah Tangga dan mereka juga berpindah ke rumah yang lebih besar. John baru menyadari bahwa Great Depression mengacaukan keadaan ekonomi dari rakyat Amerika setelah beliau berkuliah di Harvard dan mempelajari hal tersebut. Di kala krisis, tak semua orang Amerika berada pada perahu yang sama, begitupun masyarakat di seluruh dunia.
Seorang anak dari buruh tani dan seorang anak dari pialang saham sukses di Manhattan tak hanya memiliki jalan hidup yang berbeda – mereka juga memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat risiko dan keuntungan ketika berurusan dengan pengalokasian uang. Hal yang sama juga berlaku pada orang kaya dengan pengalaman hidup yang berbeda. Contohnya, anak orang kaya yang tumbuh di masa-masa inflasi tinggi akan mempunyai pendekatan yang berbeda terhadap uang jika dibandingkan dengan orang lain yang tumbuh di saat harga-harga barang stabil meskipun mereka berdua memiliki kekayaan yang jumlahnya relatif sama. Kita semua berpikir bahwa kita tahu bagaimana cara dunia bekerja, padahal kita hanya merasakan secuil dari realitas yang terjadi di sekeliling dunia. Gunakan pendekatan “we know less than we’d like to think we do” dalam memahami psikologi uang.
Pengalaman Pribadi Menentukan Keputusan Finansial Seseorang
Ketika para ekonom merancang model perilaku keuangan dari manusia pada umunya, mereka sering bergantung pada asumsi bahwa manusia adalah mahluk rasional yang selalu membuat keputusan terbaik untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya. Namun realitas jauh lebih kompleks dari pada sekedar asumsi. Mari kita amati perilaku rumah tangga dengan ekonomi di bawah rata-rata di Amerika Serikat. Rata-rata, mereka menghabiskan sekitar USD 411 untuk membeli tiket undian/lotre tiap tahunnya. Padahal, 40% dari seluruh rumah tangga di AS (yang didominasi oleh rumah tangga dengan ekonomi rendah) kesulitan untuk mendapatkan uang sejumlah USD 400 ketika keadaan darurat terjadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah perilaku ini rasional? Hampir tidak. Namun perliaku ini juga tidak bisa dibilang tak logis. Bayangkan jika kamu hanya bisa bertahan hidup dari gaji ke gaji, uangmu hanya cukup untuk membeli barang-barang pokok. Akan sangat menyenangkan jika kamu dapat memenangkan lotre dan menikmati kemewahan yang selama ini kamu tak sanggup beli. Walaupun kemungkinan untuk memenangkan lotre sangatlah kecil, namun kamu akan berpikir bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba. Toh semuanya akan terbayarkan ketika kamu memang sedang beruntung.
Keputusan-keputusan irasional seperti ini sering terjadi lebih dari yang kamu bayangkan. Dua orang ekonom bernama Ulrike Malmendier dan Stefan Nagel mencoba untuk meneliti data yang dikumpulkan oleh lembaga Survey of Consumer Finance selama 50 tahun. Data tersebut memiliki informasi tentang bagaimana orang-orang Amerika menggunakan uangnya. Dari situ Malmendier dan Nagen ingin menemukan bagaimana orang-orang menginvestasikan uangnya. Jawaban yang mereka temukan adalah keadaan ekonomi di saat mereka memasuki usia 20-an memeliki pengaruh yang cukup besar terhadap cara mereka memandang risiko.
Jika keadaan inflasi tinggi di saat mereka berada pada usia akhir remaja atau awal dewasa, kemungkinan besar mereka tak akan mau untuk menginvestasikan uang mereka pada aset keuangan berjenis obligasi negara ketika mereka dewasa mengingat kecilnya jumlah imbal balik yang diberikan. Namun jika inflasi rendah di saat mereka beranjak ke usia 20 tahun, mereka tak akan keberatan untuk menginvestasikan uang mereka pada obligasi negara ketika mereka dewasa, walaupun inflasi meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Pola yang sama juga ditemukan pada aset berjenis saham. Jika pasar saham memiliki performa baik di saat mereka muda, mereka cenderung untuk berinvestasi pada saham perusahaan nantinya. Tetapi mereka akan cenderung untuk menghindari saham, jika pasar saham berada pada kondisi terburuknya ketika mereka berusia muda.
Bayangkan kamu lahir di tahun 1970. Ketika kamu memasuki usia akhir remaja, indeks saham S&P telah melonjak 10 kali lipat. Orang-orang yang menginvestasikan uangnya pada saham perusahaan meraup keuntungan besar di waktu itu. Sementara orang-orang yang lahir di tahun 1950 akan memiliki pengalaman yang jauh berbeda terhadap pasar saham. Saat mereka memasuki usia akhir remaja, pasar saham hampir tak mengalami pertumbuhan. Maka dari itu mereka mempunyai pandangan bahwa saham bukanlah jenis aset yang memberikan banyak keuntungan. Anggapan mereka mengenai dunia keuangan ini tak berubah hingga dewasa walaupun kondisinya sudah jauh berbeda. Ini menunjukkan bahwa realitas pasar gagal untuk mengubah gut decisions (intuisi dalam berinvestasi) yang terbentuk di masa akhir remaja kita.
Keberuntungan Memainkan Peran Penting Dalam Kesuksesan Finansial Lebih dari yang Kamu Kira
Beberapa tahun lalu penulis pernah bertanya kepada Robert Schiller, ekonom pemenang Nobel Prize, tentang apa yang Schiller sangat ingin ketahui dalam hal berinvestasi namun belum benar-benar memahaminya hingga sekarang. Jawaban beliau adalah: “peran pasti dari keberuntungan terhadap hasil yang sukses”. Memang keberuntungan adalah topik yang rumit untuk dibahas mengingat sulitnya untuk mengukur sejauh mana keberuntungan berperan terhadap keberhasilan dari sebuah usaha. Kita juga beranggapan bahwa tak pantas untuk mengaitkan kesuksesan terhadap keberuntungan buta. Akhirnya, kita sering mengabaikan peran keberuntungan dalam membuat keputusan keuangan. Itu adalah sebuah kesalahan.
Menurut ekonom Bhashkar Mazumder, penghasilan dari dua orang saudara kandung mempunyai korelasi lebih erat dibandingkan berat badan atau tinggi mereka. Dengan kata lain, jika saudaramu kaya dan tinggi, lebih besar kemungkinannya untuk kamu menjadi kaya dari pada memiliki tinggi yang sama. Mengapa? Saudara yang berasal dari keluarga yang sama akan menikmati privilese dan mempunyai kesempatan yang sama. Mereka akan bersekolah di tempat yang sama dan menemukan jejaring pertemanan dengan status ekonomi yang tak jauh berbeda. Namun jika kamu bertemu dengan sepasang saudara kaya, mungkin mereka akan menyangkal teori ini.
Begitulah psikologi manusia. Kita cenderung meremehkan atau membesar-besarkan peran dari keberuntungan pada sebuah kejadian. Jika kita berhasil, kita sering mengaitkannya dengan kerja keras; namun ketika kita gagal, kita kerap beranggapan bahwa kita sedang tak beruntung. Namun jika orang lain gagal, kita beranggapan bahwa ia hanyalah seseorang yang malas dan tak mempunyai tujuan, padahal kenyataannya ia telah berusaha semaksimal mungkin. Budaya masyarakat modern yang terlalu terobsesi dengan “kesuksesan” akan sulit untuk mengubah pandangan yang ada pada masyarakat. Forbes tak akan meliput kisah dari investor brilian yang bangkrut karena sedang mengalami kesialan ketika harga aset di pasar keuangan anjlok secara tiba-tiba. Justru yang mereka liput hanyalah investor serampangan yang beruntung dan dapat meraup keuntungan di atas normal.
Ketika kita berurusan dengan investasi uang, jangan hanya membuat keputusan berdasarkan sejarah atau kebiasaan. Kita perlu memasukkan faktor terjadinya peristiwa acak kedalam model, dan ini bukanlah tugas yang mudah.
Fokus Pada Pola-Pola Umum Untuk Membuat Keputusan yang Lebih Baik
Jadi apa yang harus dilakukan agar keberuntungan menjadi bagian dari perilaku finansialmu? Jangan terlalu terobsesi dengan strategi yang diterapkan oleh individu-individu tertentu karena bisa jadi ia adalah outliers dari keadaan umum yang terjadi pada masyarakat luas. Bisa jadi panutanmu memiliki privilese berupa “koneksi” dan kekuasaan yang tak akan pernah kamu bisa miliki. Alih-alih menjadi penerang, nasihatnya bisa menjadi bumerang bagimu.
Mari amati kasus dari John D. Rockefeller yang merupakan salah satu pengusaha sukses dunia. Saat membangun kerajaan minyaknya, ia mengalami banyak kendala, salah satunya adalah Amerika Serikat tak mengijinkan perusahaannya untuk melakukan apa yang dia inginkan. Solusi yang dia jalankan sangatlah sederhana, abaikan saja peraturan negara. Saking abainya Rockefeller terhadap peraturan, salah satu hakim berkata bahwa bisnisnya tak lebih baik dari sebuah pencurian. Kesuksesan Rockefeller ikut membentuk pandangan rakyat Amerika tentang bagaimana kesuksesan bisa diraih dengan cara yang serampangan; Rockefeller menolak untuk membiarkan hukum yang ketinggalan jaman menghalangi jalan untuk berkembangnya inovasi.
Namun jika ia gagal, akankah kita memiliki pandangan bahwa apa yang dilakukan Rockefeller bisa dijadikan sebagai contoh? Tentu saja tidak. Mungkin kita akan melihatnya sebagai seorang kriminal yang hanya mengutamakan kepentingannya sendiri.
Tetapi jika kita lihat lebih dalam, sukses atau tidaknya Rockefeller hingga saat ini tergantung pada satu hal, yaitu keberuntungan. Beberapa keputusan negara yang berubah terhadap perbuatannya, atau perubahan pada iklim politik di Amerika saja sudah bisa mengubah nasib Rockefeller 180°. Lebih dari itu, jejak-jejak keberuntungan dari seseorang sangatlah mustahil untuk ditiru. Bahkan jika kamu mencoba untuk mengikuti setiap jejak karir dan keputusan yang diambil oleh Warren Buffet semirip mungkin, tak dapat dipastikan bahwa dadu keberuntungan akan jatuh dengan cara yang sama padamu.
Terlepas dari semua itu, penulis berpendapat bahwa semakin sering sebuah pola kesuksesan muncul pada masyarakat luas, semakin mungkin pola tersebut dapat diaplikasikan dalam hidup dan keputusan-keputusan finansialmu. Misalnya, banyak penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mengatur struktur dari kesehariannya lebih merasa bahagia dengan pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang tidak. Itu adalah salah satu dari pola yang dapat kamu terapkan sekarang juga.
Rasa Iri Membuatmu Gegabah dalam Bertindak
Kapitalisme memang hebat dalam menciptakan dua hal, yaitu kekayaan dan rasa iri. Coba bayangkan kehidupan dari seorang pemain baseball baru (rookie player) yang mendapatkan gaji sekitar USD 500 ribu setiap tahunnya. Mengacu pada standar ekonomi pada umunya, dia dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan ekonomi di atas rata-rata. Tetapi jika ia berada di tim yang sama dengan pemain baseball superstar seperti Mike Trout yang digaji USD 36 juta per tahunnya, pemain rookie ini tak akan merasa senang dengan apa yang ia dapatkan. Setelah itu, jika Mike Trout membandingkan dirinya dengan orang lain yang masuk dalam daftar 10 hedge fund managers terkaya di tahun 2018 yang rata-rata berpendapatan USD 340 juta tiap tahunnya, gaji Mike Trout sangatlah tidak sebanding.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, kapankah cukup bisa dibilang cukup? Apakah terdapat batasan tertentu terhadap cukup? Kita bisa mempelajari ini dari kisah Rajat Gupta yang berasal dari Kolkata India. Dia adalah pekerja keras yang menaiki tangga kepegawaian perusahaan konsultan manajemen McKinsey hingga akhirnya menjadi CEO dan pensiun di tahun 2007 dengan total kekayaan mencapai USD 100 juta. Dengan kekayaan itu Gupta hampir dapat membeli apapun yang ia inginkan. Namun tetap saja dia merasa iri dan ingin mengumpulkan lebih banyak harta.
Di tahun 2008, Gupta yang menjabat sebagai salah satu dewan direksi dari Bank Goldman Sachs, mendengar berita bahwa Warren Buffet akan berinvestasi sekitar USD 5 miliar untuk memastikan Bank tetap mampu bertahan selama krisis keuangan berlangsung. 16 detik setelah mendengar informasi tersebut melalui conference call yang belum dipublikasikan kepada masyarakat luas, Gupta menghubungi manajer investasinya dan membeli sebanyak 175 ribu lembar saham dari Goldman Sachs.
Perbuatan Gupta dapat dikategorikan sebagai tindakan illegal karena membeli saham berdasarkan informasi dari orang dalam (insider trading). Walaupun begitu Gupta tidak peduli mengingat ia dapat meraup keuntungan sebesar USD 1 juta dengan mudah. Setelah beberapa waktu berlalu, pihak berwenang melacak aktivitas trading tersebut dan menangkapnya. Keinginannya untuk menjadi billionaire justru membawanya kepada hukuman kurungan penjara.
Nasihat yang dapat dipetik dari cerita ini adalah: rasa iri membuatmu gegabah dalam bertindak. Dan “biaya” yang harus kamu bayarkan untuk menebus tindakan tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang akan kamu dapatkan. Jika kamu sedang sangat lapar dan disuguhi dengan banyak makanan lezat di atas meja, kamu tak akan memakan semuanya karena memuntahkan makanan di atas meja bukanlah hal yang pantas. Meninggalkan “kesempatan-kesempatan” di atas meja tak berarti kamu melewatkan sesuatu yang penting; itu adalah sebuah pengakuan di mana melahap segala hal yang ada akan mendorongmu ke titik penyesalan.
Mengumpulkan Harta Lebih Mudah Daripada Menjaganya
Jesse Livermore merupakan salah satu trader saham jenius dari Amerika yang hidup di abad ke-20. Di usianya yang ketiga-puluh, jumlah kekayaannya sudah mencapai USD 100 juta jika diukur dengan nilai dolar sekarang. Sebelum krisis ekonomi di tahun 1929 terjadi, Livermore membuat keputusan terbaiknya selama ia berkarir: yakni dia mengambil posisi short terhadap pasar saham. Dengan kata lain, Livermore percaya bahwa harga saham akan turun dalam waktu dekat dan ia memutuskan untuk meminjam saham orang lain untuk dia jual lebih awal (di saat harga saham masih tinggi) dan membelinya kembali di saat harga saham tersebut sudah jauh lebih murah. Benar saja, pasar saham kehilangan satu per tiga dari nilai totalnya. Ketika banyak investor mengalami kebangkrutan, Livermore pulang dengan membawa kurang lebih USD 3 Miliar. Lalu apakah dia hidup bahagia selamanya?
Setelah kemenangannya di tahun 1929, Livermore beranggapan bahwa ia tak akan pernah gagal. Ia semakin tak takut dengan risiko dan menempatkan keputusan berinvestasi pada aset keuangan yang memiliki potensi kerugian yang cukup besar jika apa yang dia prediksikan meleset. Ternyata keberuntungan tak lagi berpihak padanya. Taruhannya pada aset finansial beresiko tinggi menelan habis seluruh kekayaannya. Tak lagi sanggup menghadapi kenyataan hidupnya, ia bunuh diri di Manhattan club di tahun 1940.
Kadang mengumpulkan kekayaan jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan tetap menjadi kaya. Pola pikir dan mental yang harus dibangun untuk dapat mengumpulkan uang adalah berani mengambil risiko dan memiliki optimisme yang tinggi. Sementara untuk menjaga kekayaan dibutuhkan permainan psikologis yang berbeda; di situ dibutuhkan ketakutan bahwa apa yang dikumpulkan bisa saja hilang secara tiba-tiba yang akhirnya mendorong seseorang untuk hidup sederhana dan lebih berhati-hati. Jika saja Livermore lebih sedikit berhati-hati dalam berinvestasi dan menyadari bahwa tak selamanya keberuntungan akan berpihak kepadanya, mungkin kisah hidupnya akan berakhir dengan lebih bahagia. Michael Moritz, seorang venture capitalist, pernah berpendapat bahwa jika kamu takut akan kehilangan, kamu akan melihat potensi-potensi kemenangan dengan lensa yang berbeda; cukup bagimu untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil dari pada mengambil risiko besar yang dapat memusnahkan seluruh hartamu. Dengan pandangan ini, kamu akan lebih bijaksana dalam membuat keputusan.
Alokasikan Uang Untuk Berinvestasi Pada Banyak Jenis Aset yang Berbeda
Pada masa mudanya, Heinz Berggruen sendiri tak yakin apakah dia akan menjadi seseorang yang sukses di masa depan. Setelah melarikan diri dari cengkeraman Nazi di Jerman pada tahun 1936, ia memutuskan untuk mempelajari literatur di University of California, Berkeley. Lulus dari universitas, dia bekerja sebagai jurnalis dan menikmati kerja sambilan di bidang kritik seni. Tak hanya mengkritik, dia mulai membeli sebuah lukisan dari seorang artis bernama Paul Klee dengan harga USD 100 di tahun 1940. Dari satu langkah kecil itu, ia mulai membeli berbagai macam karya seni lainnya. Pada tahun 2000, dia menjual koleksinya ke pemerintah Jerman dengan harga hanya EUR 100 juta walaupun sebenarnya koleksi tersebut bernilai USD 1 miliar mengingat terdapat karya dari berbagai artis ternama seperti Picasso, Klee, Matisse dan Braque.
Bagaimana bisa Berggruen mengumpulkan karya seni antik dari para artis ternama di abad 20 ini? Apakah ini bakat atau hanya keberuntungan? Menurut hasil penelitian dari Horizon Research hampir semua kolektor melakukan hal yang sama yaitu: membeli berbagai macam jenis seni dalam jumlah besar. Walaupun tak semuanya akan mempunyai nilai yang fantastis, sedikit dari karya tersebut akan menjadi karya seni yang melegenda, terlebih jika kolektor menyimpannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Mereka hanya akan menjual koleksi karya seninya jika mereka rasa sudah mendapatkan keuntungan yang setimpal dari uang yang telah diinvestasikan.
Koleksi seni Berggruen layaknya seperti sebuah indeks / gabungan aset keuangan yang berbeda. Setiap jenis aset memiliki karakteristik dan risikonya tersendiri. Dengan memiliki banyak koleksi, Berggruen mencoba untuk menyeimbangkan profil risiko dari koleksinya. Oleh karena itu beliau tak hanya membeli karya yang beliau suka. Beliau akan membeli semua karya seni yang bisa dibeli dan menyimpannya hingga beberapa dari karya tersebut melambung harganya. Inti dari hal yang ingin disampaikan penulis adalah, ketika kamu dapat membuat beberapa keputusan yang baik, kamu akan memiliki ruang sedikit lebih banyak untuk berbuat “kesalahan” dalam kasus berinvestasi; karena menurutnya kegagalan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Dengan kata lain, jika kamu hanya memiliki satu Picasso di antara 100 karya seni, kamu tak perlu mengkhawatirkan jika 99 karya lainnya tak memiliki nilai di atas rata-rata.
Terimakasih sudah membaca ..
Semoga bermanfaat! Terima kasih!
Comments
Post a Comment